Cinta Harus Memiliki

               Belakangan ini sering sekali aku mendengar seseorang yang berkata, “cinta itu tak harus memiliki”. Mereka inilah teman-temanku yang berkata demikian sebagai bentuk kepasrahan atas perjuangan cintanya yang tidak mencapai apa yang mereka harapkan. Tapi, benarkah cinta itu tak harus memiliki? Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tak mengimani suatu agama? Apakah kita sebagai orang muslim bisa mencintai seorang rosul jika kita tak memiliki Muhammad SAW? Apakah kita bisa mencintai orang tua kita jika kita tak mempunyai ibu dan ayah?
                Mari kita ulas dulu apa makna “cinta” secara sederhana. Secara umum, istilah “cinta” menggambarkan adanya dua aksi yang melibatkan dan didukung oleh dua pihak. Pihak pertama berperan sebagai subjek dan pihak kedua disebut dengan objek. Adapun aksi atau tindakan itu didorong oleh suatu kecenderungan untuk “menyatu” dengan objek. Untuk bisa menyatu dengan objek, subjek harus ,mengetahui sifat atau hakikat objek. Jadi, pengetahuan mengenai objek menentukan penyatuan subjek dengan objek. Semakin mendalam pengetahuan subjek, semakin kuat penyatuannya dengan objek. Ketika kita dapat mengetahui tentang hakikat sebenarnya tentang Tuhan, kita akan semakin cinta kepada-Nya.
                Lalu, apakah bisa kita sebut dengan cinta jika kedua pihak tersebut saling terpisah? Hal ini tidak ada bedanya ketika kita mengidolakan seorang artis papan atas sedangkan kita hanya bisa menontonnya lewat media saja. Walaupun kita tahu dan paham akan kebiasaannya, hobby-nya, makanan atau minuman favoritnya kita tidak dapat mengatakan hal ini sebagai salah satu bentuk cinta. Hanya sekedar bentuk kekaguman semata. Namun akan lain halnya jika kedua belah pihak saling mengetahui isi hatinya. Dan untuk mengetahuinya, kita membutuhkan apa yang disebut dengan “cinta” itu sendiri.
                Pecayalah teman, yang namanya cinta sejati itu tak pernah bertepuk sebelah tangan. Jangan pernah bersedih karena merasa cintamu ditolak. Sesungguhnya kau sama sekali belum menyentuh cinta itu sendiri. Kau hanya mengaggumi dia. So, Ganbatte!!

Uang Kuliah Tunggal

       Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh akhirnya menetapkan kebijakan tentang uang kuliah tunggal (UKT) bagi semua mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN). Sebenarnya, Ditjen Dikti Kemendikbud sudah mengusulkan sistem ini sejak awal 2012 tetapi karena minimnya persiapan dari semua PTN maka akhirnya harus diundur sampai sekarang. Ketetapan ini tertuang dalam Permendikbud No 55 tahun 2013 dan akan langsung diterapkan pada awal tahun ajaran baru 2013/2014.
         UKT adalah semua besaran biaya kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa pada setiap semesternya. Setelah membayar UKT mahasiswa sudah tidak akan dikenakan biaya tambahan dalam bentuk apapun. Sebelumnya, kita mengenal dalam biaya pendidikan dalam PTN terdiri dari berbagai komponen, antara lain sumbangan pengembangan pendidikan (SPP), praktikum, responsi dan kegiatan perkuliahan lain (PRKP), sumbangan pengembangan institusi (SPI), dan biaya operasional (BOP). Selain itu juga sering ditambahkan beberapa biaya tambahan seperti biaya kuliah kuliah kerja nyata (KKN), praktik lab, wisuda, asuransi dan sebagainya. Dengan UKT semua biaya kuliah tersebut dijadikan menjadi satu, untuk kemudian dibagi menjadi 8 dengan anggapan bahwa mahasiswa S-1 akan menyelesaikan studi dalam kurun waktu 8 semester.
        UKT akan diterapkan untuk semua jalur, baik itu  jalur undangan (SNMPTN), jalur tulis nasional (SBMPTN) maupun jalur mandiri. Bagi calon mahasiswa dan orangtua/wali, biaya yang dibayar per semesternya memang terlihat tinggi, namun disisi lain hal ini juga akan meringankan beban biaya pembayaran yang ditanggungnya pada awal masuk PTN. Komponen SPI dan sumbangan pengembangan mutu pendidikan (SPMP) yang biasanya dibayar didepan atau dicicil dua kali, kini akan dibagi menjadi 8. Pemerintah berasumsi bahwa waktu yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyelesaikan studi S-1 adalah selama 8 semester. Sehingga, dalam sistem UKT jika terdapat mahasiswa yang menempuh studi lebih dari 8 semester maka akan dikenakan kembali besaran cicilan biaya yang seharusnya berhenti pada semester kedelapan. Langkah ini bisa dinilai tepat agar mahasiswa terpacu motivasinya untuk menyelesaikan studinya tidak lebih dari 8 semester.
          Bagi PTN, sistem UKT ini dikhawatirkan akan mengganggu aliran kas (cashflow) pada tahun I sampai III dikarenakan jumlah penerimaan tiap semester dari mahasiswa juga akan menurun. Hal ini akan berakibat pada berkurangnya anggaran untuk kegiatan, termasuk kegiatan kemahasiswaan. Jika Ditjen Dikti bersedia untuk menambah persentase kucuran dana Bantuan Operasional PTN (BOPTN) yang sekarang ditetapkan hanya sebesar 12,5% maka akan dapat membantu atau menutupi aliran cash flow yang terganggu. Namun, dengan catatan mahasiswa dan perguruan tinggi mampu mendorong pemerintah untuk melakukan transparansi dan menghindari prosedur administratif yang panjang dan berbelit-belit. Dan, untuk mencegah kenaikan biaya yang tidak rasional oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), pemerintah telah menerbitkan standar UKT untuk tiap jurusan. Standar ini yang akan digunakan sebagai batasan maksimal UKT yang dapat ditarik oleh PTN.

Cobaan


Pernahkah kau menanyakan tentang keadilan Tuhan? Pertanyaan ini tiba-tiba muncul dalam benakku setelah menonton film yang berjudul “5cm”.
                Tentunya bagi yang sering mendapatkan cobaan hidup ketika pertanyaan ini diajukan dengan lantangnya mereka akan menjawab “Pernah”. Tidak terecuali dengan saya. Kadang disaat hidup kita terpuruk karena berbagai cobaan yang mendatangi kita, lantas yang ada dibenak kita adalah mempertanyakan takdir Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang selama ini kita kenal sebagai Dzat yang Maha Penyayang tak lagi menyayangi kita? Tuhan yang selama ini kita kenal Maha pengasih tak lagi mencurahkan kasih sayang-Nya pada kita? Bahkan yang lebih parah lagi ketika sampai berpikir apakah Tuhan memang ada?
                Kita umpamakan saja dengan saat kita menonton film. Terdapat dua film tentang yang sama-sama menceritakan tentang perjalanan seseorang yang mendaki gunung. Dalam film pertama, pendaki mengambil rute yang telah dianjurkan oleh pemandu, yaitu rute paling aman, paling mudah, dan paling cepat untuk dilewati agar sampai dipuncak tujuan. Sedangkan film kedua menceritakan tentang seorang pendaki yang berambisi untuk sampai ke puncak gunung namun karena ketidaktahuannya, dia malah mengambil rute yang paling berbahaya. Rute itu harus melewati jalan yang terjal, jurang tak berdasar, hutan yang dipenuhi dengan berbagai binatang buas, serta cuaca dan iklim yang tidak bersahabat. Namun ada satu persamaaan dalam kedua film tersebut, yaitu kedua pendakinya sama-sama berhasil sampai ke puncak pendakiannya. Setelah kamu menonton keduanya, kira-kira manakah film yang lebih kamu sukai? Bahkan ketika pertanyaan ini ditanyakan pada anak kecil yang baru pertama kalinya menonton film pasti mereka akan menjawab film kedualah yang lebih bagus. Dan saya sebagai penggemar film action pasti akan tertidur jika disuruh menonton film yang pertama. Mungkin Tuhan juga berpikir demikian.
                Ketakutan kita akan cobaan membuat kita selalu waspada. Perjuangan kita menghadapi cobaan membuat kita semakin kuat. Ikhlas menerima segala cobaan membuat kita semakin bijak menjalani hidup. Seharusnya jika kita mendapatkan cobaan kita bersyukur kepada-Nya. Karena dengan kita diuji dengan berbagai cobaan, kita akan merasa semakin bermaknanya hidup kita ketika telah melewatinya. Memang semua orang didunia ini akan mati, namun hanya beberapa orang yang benar-benar hidup. Hidup akan jiwanya, hatinya, dan pikirannya.

Memandang Cinta

18.06.13-22.00
Suatu hari seorang “sahabat” bertanya kepadaku.
                “Apakah yang membuat seorang pria tertarik pada seorang wanita?”
                Sejenak kuterdiam. Berusaha menelan pertanyaan tadi, kemudian mencernanya lebih halus agar bisa masuk ke otakku dan berharap dapat kumuntahkan lagi dalam bentuk jawaban yang paling bijak. Kali ini aku nggak bakal jawab sembarangan seperti saat ditanya teman biasanya. Alasannya sekarang yang bertanya adalah perempuan, makanya sebisa mungkin aku harus menjawabnya dengan penuh pertimbangan. Namun naas, apa yang terjadi malah sebaliknya. Entah kenapa ketika aku bersamanya aku nggak bisa bersikap untuk pura-pura menjadi pintar, bijak, ataupun ganteng. #kalo yang terakhir ini, mau digimana2in emang nggak bakal bisa.hahaha
                 Jawabanku mengalir begitu saja tanpa minta izin dari otakku.
                “Kalau menurutku, aku biasa dari mukanya. Kalau mukanya cantik menarik aja untuk dilihat. Nggak perlu lihat badannya, mau itu langsing, kurus, ataupun gendut.” Ceplosku.
                Seolah ditelan bumi lalu diterjang tsunami, jawabanku cerdasku yang sudah diujung lidah hilang tak berbekas. Lenyap sudah kesempatanku untuk terlihat pintar didepannya. Apa boleh buat, setelah kurenungi, jawaban itu nggak ada salahnya juga. Lagipula dia cuma bertanya tentang ketertarikan. Belum menyangkut kasih sayang atau cinta.
                Lantas, bagaimana kalo pertanyaan tadi berbunyi:
                “Apakah yang membuat seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita?”
                Kalau pertanyaannya seperti ini, dikasih waktu sejam aja belum tentu aku bisa menjawabnya. Namun yang jelas kita tidak memerlukan mata untuk memandang cinta kita. Tidak memerlukan hidung untuk menciumnya. Tidak memerlukan telinga untuk mendengarnya. Tidak memerlukan lidah untuk mengecapnya. Kita tidak memerlukan indra kita untuk mengenali apa itu cinta. Oleh karena itu, cinta tak hanya dapat dirasakan oleh kita yang beruntung sudah diberikan alat indra saja. Bahkan yang tak memiliki satupun pada badannya juga bisa merasakan cinta. Karena cinta hanya dapat dikenali dengan hati yang tulus.
                Jika sudah waktunya, ia akan datang dengan sendirinya dan tak akan pernah tersesat. Cinta sejati selalu datang pada orang-orang yang selalu berharap padanya dan tak pernah berputus asa.