Hei,
pernahkah kau meragukan apa yang mereka katakan? Tentang indahnya mencintai dan
dicintai? Pernahkah kau membandingkan perasaan itu dengan perasaan ketika kau
masih ceria sebagai seorang bocah yang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya
jatuh cinta?
Kadang
aku merasa ingin sekali seperti Peter
Pan, bocah abadi yang tidak pernah tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Yang
hanya dengan berpikir tentang apa yang membuatnya bahagia dia bisa terbang
bebas di angkasa, yang hanya berbakal keyakinan mampu membuat impian seliar
apapun menjadi kenyataan. Menjadikan awan sebagai tempat berteduhnya ketika di
bawah sana terasa panas menyengat. Sebagai pria (yang sedang mencari jatidiri) tak jarang terlintas dipikiranku
untuk kembali lagi ke masa ketika masih bocah. Berharap Peter Pan datang dan
membawaku ke Neverland.
Namun,
siapa yang sanggup melawan waktu?
Setelah
dewasa, aku sadar dia hanya dongeng belaka. Tak lebih dari khayalan seorang
manusia. Namun siapa sangka, dia menghampiriku semalam. Tentu saja dengan
perinya Tinker Bell. Membangunkan tidurku,
kemudian berkata,
“Alfian,
kau bisa merasakan kebahagiaan itu tanpa harus kembali menjadi bocah,”
“Bagaimana
bisa?” jawabku heran.
“Kau
hanya perlu yakin dengan impianmu. Dan dengan cinta sejatimu, kau bisa bahkan
bisa lebih bahagia daripada aku,”
“Aku
tidak percaya dengan cinta se..” tiba-tiba jari telunjuknya ditekankan ke
bibirku untuk membuatku berhenti bicara.
“Jangan
pernah berkata seperti itu, karena jika satu saja orang di dunia ini berkata
demikian maka dalam hidupnya dia tidak pernah mendapatkan cinta sejatinya,”
Tatapan matanya
membuatku yakin akan apa yang dikatakannya. Kemudian dia menjulurkan
kelingkingnya untuk menuntut sebuah janji padaku. Janji bahwa aku tidak akan
kehilangan keyakinan terhadap mimpi-mimpiku. Janji yang membuatku percaya bahwa
di suatu tempat sana, cinta sejatiku sedang setia menungguku. Tidak punya alasan untukku menolaknya. Kilingking kami saling terkait.