Dan sang pendeta itu bertanya-tanya tentang kejanggalan perilaku alam
semesta di sekitarnya yang baru pertama kalinya ia lihat sepanjang hidupnya
Kemudian ia bertanya pada pepohonan; “Kenapa kalian semua berlutut
pada rombongan pedangang dari negeri antah berantah itu? Apakah kalian sebegitu
takutnya pada mereka?”
“Karena kami hanyalah pohon. Dan yang yang bisa kami lakukan hanyalah
memberinya kesejukan dan berlutut jika ia berjalan di depan kami,” jawab salah
satu pohon kurma.
Sang pendeta tidak puas dengan jawaban pepohonan, kemudian ia
bertanya kepada awan gemawan; “Kenapa kalian terus-menerus mengikuti mereka
kemana pun mereka melangkah? Apakah mereka begitu kaya sehingga sanggup membayar
kalian untuk menjadi payungnya sepanjang hari?”
“Karena kami hanyalah awan. Dan yang bisa kami lakukan hanyalah
memberinya perlindungan ketika matahari bersinar terik. Satu hal lagi, anak itu
memang kaya raya, jauh lebih kaya dari raja manapun di dunia ini, meskipun
harta bendanya hanya seberapa. ”
Jawaban awan belum juga memuaskan rasa penasaran sang pendeta. Untuk terakhir
kalinya dia mencoba bertanya pada batu yang sedang ia duduki; “Kenapa hanya kau
yang berperilaku normal sejak kedatangan rombongan pedagang itu?”
Namun batu tetap membisu. Sang pendeta lupa jika selama ini ia tak
pernah mengerti tentang bahasa batu. Dengan pasrah, ia segera bangkit dari
duduknya lalu bergegas menghampiri rombongan pedagang itu. Baru selangkah ia
berjalan, tiba-tiba ia mendengar suara; ”Karena aku hanyalah sebongkah batu,
namun jika aku dilahirkan sebagai manusia sepertimu, aku akan senantiasa bersholawat
untuk anak yang sedang berjalan di samping pamannya itu.”
0 comments:
Post a Comment